Monday, December 30, 2013

Exploring the 19thA Track @Gunung Karacak



22 Desember 2013
Hujan turun cukup deras di Minggu pagi ini, bahkan saat hujan berhenti pun. Mendung masih menggelayut di pelupuk cakrawal.  Jam 07.45 setengah malas2an si Spezy di gowes menuju Garut kota. Di turunan Sanding, tampak di depan 6 anggota ABG yang gowes tak berhelem.  Satu demi satu, mereka tersusul.  Memasuki alun-alun Garut, tampak 4 orang MTB-ers muda.  Lengkap dengan tas punggung mengayuh sepedanya perlahan.  Saat mendekati mereka, saya say hello.
"Mau pada gowes ke mana?"
"Ke Lingga Ratu Pak!", jawab mereka
"Weleh, ati-ati banyak pacet!", ujar saya mengingatkan.
"Oh kitu Pak? Hayu atuh gabung!", ajak mereka
"Nuhun, saya mah mau ke Talagabodas!", jawab saya menolak halus.  Padahal hari itu agendanya adalah ke Gunung Karacak.


Kali ketiga ke Gunung Karacak untuk membuat jalur baru. Jalur sepeda kesembilan belas. Sudah tiga kali, mencoba menembuskan jalur dari hutan di Gunung Karacak tapi belum berhasil.  Rencananya, jalur ini melingkar mengikuti punggungan Gunung Karacak tembus ke hutan Cirorek di Gunung  Satria Tasikmalaya.  Mudah-mudahan kali ketiga ini berhasil.

Tiba di rumah dinas Tebe Asep, yang dijadikan basecamp Kgc Garut Mountain bike.  Tampak sudah berkumpul raja ngicik Dedi Eceks, si Jangkung Tipis Haris Akung, dan mang Hendra. Tanpa basa-basi pisang ambon putih yang dibiarkan tergelatak tak disapa oleh mereka. Dua buah langsung masuk perut, 3 buah langsung masuk ransel saya :) untuk bekal di hutan!


Satu demi satu para pemirsa Kgc berdatangan.  Akhirnya bersepuluh meluncur menuju ke arah Sukadana.  Beriringan menikmat tanjakan Margawati sejauh 5 km. Tanjakan jalan itu tidak terlalu berat.  Sejuknya udara mendung pagi itu akibatkan keringat tak juga mau membasahi tubuh.  Di tengah perjalanan, Mang Haji Muksin Al Tarkal, alias Pak Camat Tarogong Kaler, Koh Iong  yang terus terang, terang terus dan Mang Ruhiyat dari Chevron akhirnya bergabung.








Lebih kurang 45 menit tiba di titik offroad, langsung mencicipi tanjakan leter U yang meliuk tajam. Pendek memang tapi cukup membuat mulut berulang-ulang meniup handlebar sepeda :p. Rombongan langsung memasuk padang rumput yang hijau di ketinggian 1000 mdpl. Melewati jembatan yang terbuat dari dua batang pohon pinus yang melintang di atas sungai kecil sempit 2 meteran yang cukup dalam. Satu demi satu, melintasi jembatan itu. Harus hati-hati karena jembatan itu sudah mulai lapuk dimakan usia. Menembus semak-semak dan "byar...!"  Sejauh mata memandang hijau ranau.  Seolah berada di hadapan kita Gunung Cikuray tampak anggun, tersenyum dan kabut yang menutup raut rimbun hutannya! Seandainya langit tak berkabut, mungkin pemandangan akan semakin cantik bila langit berwarna biru.



Sebelum perjalanan dilanjutkan menembus rimbunnya semak belukar di hutan. Kami pun mengadakan "ritual" agar tidak terserang pacet.  Semua peserta yang ikut, meraba dan mengusap tangan, kaki dan tengkuk masing-masing.  Bahkan, saya beserta beberapa orang lainnya melompat-lompat sambil terus mengusap tengkuk!

Saat mulai memasuk segarnya udara yang berbau pinus, hampir semua berkomentar.  Segar, sejuk, indah, Subhanallah dan lain-lain komentar yang terkesan dengan kondisi jalur dan udara yang dilewati.  Seringkali kami berpapasan dengan rombongan pencari kayu bakar, atau penyadap getah pinus. Sapaan akrab dan keramahan serta nasihat arif bijaksana meluncur dari mulut mereka penuh dengan senyuman.  Kearifan lokal yang nyaris tidak lagi ditemukan di kota besar.

Beberapa kali, kamipun berpapasan dengan monyet-monyet yang bergelantungan di atas pohon pinus. Sayangnya dibeberapa tempat ditemukan perangkap burung :(
Jalan makin curam, dan nyaris tidak bisa digowes.  Akhirnya aksi DH dilakukan secara berjamaah. Lebih kurang seperempat jam, memasuki Dhuhur istirahat di sebuah tempat yang cukup datar sekaligus makan siang.
Belum juga belum, nasi turun ke dalam usus.  Semua langsung mendorong kembali sepedanya masing-masing.  Saya terkaget-kaget, karena si Spezy lenyap!  Tanya sana-sini, mereka bilang tidak tahu.  Ternyata sudah digusur duluan oleh Koh Iong. Thank you!



Menemui percabangan jalan, kami kebingungan. Ke atas terus masih menanjak dan mendorong. Ke kanan, jalan mendatar dan mengecil dengan jurang lebar di sebelah kanan. Akhirnya, sepakat mengambil jalur ke kanan. Vegetasi makin rapat. Tapi sepeda masih digowes. Bahkan cenderung menurun.  Semua saling mengingatkan.
"Awas Jurang! Awas pokok Pohon! Awas Lubang!" atau sesekali berteriak sekehendak hati sambil ketawa-ketiwi.  Tapi, tiba-tiba jalan setapak hilang sama sekali.  Tertutup oleh semak belukar.  Namun di bawah, terdengar gonggongan anjing pemburu.  Menembus kerapatan semak belukar sepeda tetap di kayuh. Menuju arah datangnya suara gonggongan anjing  yang sayup-sayup terdengar.

Jalur masih tertutup rapat, namun sesekali mulati tampak jalan setapak. Akhirnya, bertemu dengan seorang penyadap getah pinus. Dia bertanya ramah,
"Mau pada kemana?"
"Ke Cirorek Pak, betul arahnya ke sini?", tanya kami
"Walah, salah jalan! Harusnya di persimpangan di atas tadi.  Terus lurus sampai ke puncak gunung. Kalo ke sini mah ke arah Cikadu!", jawab si Bapak Penyadap karet panjang lebar.

Kamipun, saling berpandangan mata sambil tersenyum.  Balik ke atas, dan mendorong sepeda lagi atau terus ke bawah menuju Cikadu? Mengingat waktu yang sudah terlalu sore.  Kami putuskan sementara mengambil jalur Cikadu. Karena jalur ini, sejauh yang tadi sudah dilewati sangat suitabel, cocok untuk sepeda. Sepeda terus dipacu, sesekali yang kurang nekad harus menuntun sepeda di jalur berupa tangga dari pohon pinus.

 Tapi, yang cukup berani akan tertawa puas sambil meledek yang kurang berani.  Beberapa kali melewati drop off alami.  Beberapa kali salah seorang rekan kami harus jungkir balik.  Bukan karena medannya yang berat, tapi karena seatpost hidroliknya tidak cukup rendah.  Sehingga stabilitas tubuh berkurang dengan sendirinya, tidak ada pijakan sama sekali saat menghadapi titik yang kritis.  Karena kesal, seatpost hidrolik, oleh rekan kami tersebut dicabut dan dilempar ke arah semak-semak! Kami pun terpingkal-pingkal melihat adegan akrobat yang tidak sengaja ditampilkannya!


Jalur terus menurun, melewat hutan pinus. Single track yang sangat sedap untuk dicoba! Sayangnya, Garmin milik Pak Camat dan Endomondo di hape saya mati.  Jadi kami tidak mengetahui berapa jarak tempuh dan waktu jalur yang dilalui.  Memasuk tepi hutan, jalan mulai ramah. Semak belukar perlahan berkurang. Jalan semakin bersih, namun tetap single track ramah, yang menembus ke tanah pertanian.  Karena rombongan tercecer.  Regrouping pun dilakukan sambil mengevaluasi jalur yang dilewati.  Jalan setapak makin menyempit dan berubah menjadi pematang sawah. Untunglah sawahnya kering, walaupun musim hujan.  Jadi kami cukup berani, menggowes di pematang sawah.  Kalaupun harus tercebut tidak akan mandi lumpur atau basah kuyup.

Pasca melewati pesawahan, jalan kembali masuk ke jalur pertanian.  Masih single track turunan. Semua mengebut, sambil sesekali tertawa terbahak-bahak saat memasuk turunan yang turun tajam dan menyudut 45 derajat.  Beberapa dari kami harus terjerumus dan jadi bahan tertawaan yang lainnya.

Saat memasuk perkampungan, kami kembali disambut gonggongan anjing peliharaan orang kampung.  Sesaat terhenti, membiarkan gonggongan berhenti sejenak.  Setelah cukup kondusif, gowes dilanjut.  Kembali memasuk pesawahan. Kayuhan harus kembali super konsentrasi.  Gowes di atas pematang sawah tidak mudah bagi kami.  Salah-salah malah tercebut ke sawah yang ternyata di bagian ini cukup berair dan berlumpur!

Jalur pematang sawah, berakhir di jalan beton  yang masih baru. Kembali langsung meluncur, mulus dan ngebut di atas beton.  Ternyata jalur beton tersebut tembus di Cikadu, atau terusan Jalur Cirorek yang berjarak lebih kurang 14 km dari Garut kota. Turunan semakin tajam. Tapi, karena sudah dibeton rapi dan rata. Di turunan ini, sepeda tidak lagi harus dituntun seperti beberapa waktu lalu saat kami melewati jalan ini yang masih belum dibeton dan dipenuhi lumut. Turunan tajam itu berakhir di sebuah lembah, dengan tanjakan curam sejauh lebih kurang 50 meter saja di dalam.  Beberapa dari kami ada yang sanggup full gowes, sebagian TTB karena fisik yang sudah habis.

Berhenti sejenak di warung untuk rehat dan minum kopi dan sholat.  Perjalanan di lanjut, dengan jalan masih beton yang sebagian sudah mulai dimakan oleh gerusan air.  Turunan curam dan menikung tajam berakhir di sebuah lembah tempat mushola kecil yang pancuran mata airnya digunakan oleh penduduk kampung untuk mandi. Di depan lembah ini, tanjakan curam sejauh lebih kurang 50 meter kembali menyambut akhir dari petualangan hari itu.  Tanjakan ini berujung di hotmix Jalan Raya Cilawu Tasikmalaya.  Lebih kurang 7 km dari Garut kota.

Walaupun tidak sesuai harapan, bisa menembuskan jalan ke jalur Cirorek, Gunung Satria, Tasikmalaya.  Namun, jalur sepeda yang "ditemukan" tidak sengaja secara umum sangat rekomen untuk teman-teman dari luar Garut yang mau gowes menjajal jiwa petualangnya :P
Kami namakan jalur sepeda ini Jalur 19A, dengan harapan dari hutan Gunung Karacak tembus ke Cirorek adalah Jalur 19B dan tembus ke Parentas (Cigalontang, Singaparna) menjadi Jalur 19C.  Karena gerbang awal jalurnya sama dari Gunung Karacak yang merupakan jalur ke-19 yang berhasil dijelajahi.

Berani mencoba? Let us do it!


Catatan:
- Panjang jalur 19A belum bisa ditentukan dengan pasti, karena GPS mati. Namun diperkirakan sekitar 27 km
- Lama perjalanan sekitar 3-4 jam plus istirahat dan tersesat :p
- Kontur turunan single track dengan vegetasi rapat hutan hampir 60% lengkap dengan turunan ekstrim berupa tangga pohon pinus namun layak dicumbu dengan mesra :), single track tanah pertanian/pesawahan plus pematang 20% dan selebihnya berupa turunan dan tanjakan.

Sunday, December 1, 2013

Touring Garut-Pameungpeuk-Rancabuaya

Musim libur panjang hampir tiba.  Saatnya merencanakan liburan ke tempat yang bisa membuat kita kembali segar.  Untuk para goweser, tidak ada salahnya untuk mencoba touring Garut-Pameungpeuk dan melakukan camping atau menginap beberapa malam di Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo dan Pantai Rancabuaya di Kecamatan Pameungpeuk, Garut Selatan.


Pantai Sayang Heulang dan Pantai Santolo berjarak lebih kurang 105 km dari Garut kota. Pantainya cukup indah. Cukup landai dengan pasir putih dan pandan liar di atasnya. Apalagi bila kita menyaksikan sunset di pantai Santolo. Pantai Sayang Heulang dan Pantai Santolo sangat berdekatan, hanya dipisahkan  oleh sebuah sungai kecil yang dapat diseberangi dengan menggunakan rakit bambu/getek, sekali menyeberang sepeda plus yang empunya hanya bayar Rp.3000,-/orang.  Atau kalau mau, silakan melingkar dan melambung sejauh 9 km. Tinggal pilih :p


Bila waktu cukup panjang, touring bisa dilanjutkan ke Pantai Rancabuaya yang berjarak 33 km dari Pameungpeuk. Pantainya hampir sama dengan pantai Sayang Heulang dan Santolo hanya lebih luas. http://riparhand.blogspot.com/2013/05/pantai-rancabuaya-kec-caringin-garut.html


Jalan yang menghubungkan kota Garut sampai Pameungpeuk relatif baik.  Hotmix mulus.  Dari Garut kota sampai Batu Tumpang sejauh 37 km Cikajang. Relatif nanjak, dengan tanjakan ringan sampai sedang.  Kendaraan umum dan kendaraan pribadi tidak terlalu ramai jadi relatif aman untuk pesepeda.
Di Batu Tumpang, bisa rehat sambil menikmat lembah dan hamparan kebun teh.  Tidak ada salahnya, sambil istirahat mencicipi hidangan ayam goreng dan sambal khas Batu Tumpang dengan harga bersahabat.  Udara di Batu Tumpang cukup dingin, dan cenderung berawan/hujan/berkabut bila melewati tengah hari.


Dari Batu Tumpang sampai ke Pameungpeuk yang berjarak 45 km bisa dibilang sepi, karena hanya satu dua saja yang berpapasan. Jalan turunan berkelak-kelok yang hanya diselingi tanjakan ringan di Cihideung (Gunung Gelap) siap dicumbu.  Harap hati-hati, karena kadang-kadang ada kendaraan yang nyelonong dari arah Pameungpeuk yang mengambil jalan di kelokan. Jalan akan terus menurun sampai di pantai.


Penginapan
Penginapan sederhana, wisma atau hotel cukup tersedia.  Bahkan ada beberapa warung di pinggir pantai yang mempersilakan pelancong untuk tidur di ruangan depan warungnya yang memang dipersiapkan untuk penginapan dengan harga kearifan lokal :) Warung juga menerima pesanan, makan malam dan sarapan dengan menu ikan laut segar dengan harga yang relatif murah. Sebagai gambaran, waktu tahun lalu kita ber-15 orang numpang tidur, makan malam dengan ikan segar, plus lalab sambal,dan sarapan pagi. Hanya diminta 300 ribu rupiah saja.Kurang tahu, tahun ini karena dolarnya pan udah 12 ribu!
Pokoknya, penduduknya belum sekomersil di pantai lainnya.  Harga2 juga masih relatif standar.

Untuk tarip penginapan, berupa rumah kecil sederhana tarifnya antara Rp.150 ribu s.d. Rp.350 ribu. Di pantai Sayang Heulang banyak penginapan seperti ini. Murah meriah. Tapi, menghadapi liburan panjang dan tahun baruan [enginapan tersebut sudah penuh,  jadi semestinya kita sudah memesan/booking seminggu atau dua minggu sebelum hari H kedatangan. Disarankan untuk tidak menginap di tempat yang jaraknya berdekatan, karena malam tahun baruan biasanya akan penuh dengan aneka musik dangdut dan bunyi petasan yang akan mengganggu waktu istirahat kita setelah gowes seharian.