Sunday, January 5, 2014

Bike To Camping ke Hutan Gunung Karacak



Sabtu, 7 Desember 2013  setelah direncanakan hampir satu minggu. Bike to Camping ke hutan Gunung Karacak akhirnya terlaksana.  Sempat muncul keraguan, karena hampir satu minggu Garut diguyur hujan deras.  Seluruh peserta yang akan ikut kemping pada awalnya lebih kurang dua puluh orang.  Namun, pada hari H satu demi satu berguguran dengan berbagai modus.  Namun, demi kesetiakawanan walaupun tidak ikut menginap, yang tidak ikut kemping tetap berjibaku membantu segala persiapan dan menemani gowes ke lokasi perkemahan di kaki Gunung Karacak (1549 mdpl). Teman-teman Kgc-ers Garut Mountain Bike langsung gowes ke lokasi yang berjarak 7 km ascending dari Garut kota (780 mdpl) dengan membawa berbagai peralatan perkemahan. 



Berangkat dari Garut kota sekitar jam 10.30 WIB, cuaca yang sangat panas hampir 340C cukup membuat tubuh dan wajah seperti ditampar panasnya api. Rimbunnya pepohonan tidak cukup membantu panasnya matahari.  Nafas terengah-engah, muluh mangap mencari udah. Wajah seperti ditampar dari dua arah. Dari sinar matahari dan dari panasnya aspal panas.  Tubuh dan jersey pun basah kuyup oleh keringat. Sesekali berhenti di warung kecil, rehat. Minum, makan makanan ringan dan ngopi.

Makin ke atas, jalanan makin terasa makin tidak bersahabat. Bahkan, pada beberapa titik kayuhan harus dilakukan dengan interval. Gowes sambil berdiri, karena tanjakan yang curam. Hampir 1 jam jarak 7 km ditempuh. Di akhir jalan raya sekitar 2 km dari lokasi kemping.  Suapan tanjakan terakhir, terhidang di tengah matahari yang nyaris di atas ubun-ubun. Tanjakannya, amat sangat curam.  Tidak terlalu panjang, tapi nyaris berbentuk hurup U bengkok dengan tikungan 45 derajat! Sebagian besar bukan ahli “matador”(manggih tanjakan didorong), tapi di tanjakan ini akhirnya memilih melakukan aksi DH (Didorong Heula) alias TTB (Tungtun Bike).



Perjalanan mengayuh sepedah dilanjut, melewati jalur tunggal tanah perkebunan rumput gajah. Menyusuri beningnya mata air Ciwalen yang mengalir dari Bukit Cimindi.  Konsentrasi tinggi diperlukan, karena jalur yang sangat kecil plus beban tas punggung yang membawa berbagai peralatan kemah. Bilat tidak dipastikan akan terpeleset kesebelah kiri dan terjebur aliran mata air, sebelah kanan kebun kopi yang cukup rapat. Memasuki hutan pinus. Jalan makin sempit dan menanjak sedikit terjal.  Tapi masih bisa digowes. Akhirnya, tiba di lokasi perkemahan yang sangat asri.  Nyaris amat sangat perawan.  Belum ada sentuhan polusi tangan manusia jahil. 

Dua buah gubuk dengan tiang-tiang kayu yang sudah berumur. Tampak atap gubuk kayu yang kecil, ditutupi daun dan belitan daun labu hutan. Gubuk kecil ini, sepertinya berperan sebagai dapur darurat. Gubuk yang lebih besar, sebelumnya digunakan mungkin untuk tempat sholat dan melepaskan penat petani kopi atau penyadap getah pinus. Rimbunnya kanopi dari hutan pinus, menjadikan suasana lokasi kemah sangat teduh.  Sinar matahari masih menembus tapi tidak terlalu panas.  Sekitar 5 meter dari gubuk tampak sebuah kolam kecil, dengan aliran mata air dari dalam tanah yang tidak pernah berhenti.  Airnya sangat jernih dan dijamin belum tercemar.  Kami pun tidak segan untuk meminum langsung tanpa direbus dahulu dari mata air tersebut.
Menurut Agus Gandhi, ketua KPK (Kelompok Petani Kopi) hutan pinus ini sudah menjadi hutan lindung tapi masih produktif.  Lahan kosong di hutan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk bertanam palawija, rumput gajah dan kopi.  Luas total hutan lindung tersebut kurang lebih 450 hektar yang berbatasan dengan Tasikmalaya.  Meliputi Gunung Karacak, Gunung Panjang, Pasir Gede, Cirorek, Gunung Satria dan Parentas. Hewan liar seperti monyet, babi hutan dan anjing hutan masih sangat banyak di areal hutan ini.
Diguyur Hujan Lebat
Setelah beristirahat sejenak, tenda langsung didirikan.  Walaupun membawa tiga buah tenda “doom” berukuran besar yang bisa memuat 6-8 orang per tenda. Karena yang akan menginap hanya 9 orang. Akhirnya, hanya dua tenda yang didirikan. Di antara dua tenda tersebut, terletak perapian untuk api unggun.  Berbagi tugas sebagian membereskan tenda, sebagian mencari kayu bakar dari pohon pinus yang tumbang dan sudah lapuk, sebagian menyiapkan makan siang.
Jam 13.45 akhirnya semua persiapan selesai. Makan siang yang sudah disiapkan dari rumah langsung dilahap. Setelah itu ngopi dan ngobrol, tidur-tiduran, mandi, sholat dhuhur.  Mang AT Wiryawan, Muksin Al Tarkal (Camat Tarogong Utara) ditemani kuncen Agus Gandhi melakukan survey track Downhil. Melewati rimbunnya hutan pinus, lembah dan bukit di bukit Cimindi.  Ketinggian (ascending) yang dicapai dari survey hari itu 1560 mdpl dengan total jarak jalur DH 1530 meter. Tapi, menurut mang AT ada beberapa bagian jalur yang harus dirapihkan dan diratakan.



Malam pun tiba, Alhamdulillah cuaca masih cerah. Tapi, udara dingin pegunungan sudah terasa mulai dari jam 4 sore.  Semua memakai jaket penghangat, yang pasti seadanya.  Karena ini adalah acara bike to camping yang pertama.  Praktis pakaian yang digunakan seadanya.  Bahkan, rekan kami ada yang hanya menggunakan jas hujan sebagai penghangat.  Peserta yang tersisa ternyata hanya berjumlah 7 orang. Karena, sebagian besar hanya mengantar dan berpartisipasi mendirikan tenda dan menyiapkan segala kebutuhan yang akan menginap.
Api unggun yang dinyalakan dari sejak sore tadi, cukup lumayan mengurangi dinginnya udara.  Sekitar jam 18.05 Kang Tono, seorang penduduk setempat tiba.  Dari kejauhan tampak, dia berjalan hati-hati menembus sempitnya jalan dan remang-remang di tengah hutan. Di bahunya, tampak bambu pikulan bergoyang-goyang karena beban dua buah karung di kedua ujungnya.  Kang Tono, datang membawa makan malam.  Kita hanya memesan nasi liwet waktu itu.   Tapi, berkah kearifan local yang masih tertanam dalam jiwa masyarakat desa.  Ternyata, Kang Tono lengkap membawa sambal lalab, perkedel, ikan asin, dan bal-bala serta opak.  Sementara ayam panggang dan sate dibakar.  Karena lapar, akhirnya setiap kali ayam atau sate matang langsung habis untuk teman nasi liwet.
Jam menunjukkan pukul 18.40 udara semakin dingin. Api unggun diusahakan tetap menyala.  Tanpa dikomando bergantian membuat kayu bakar dari batang pohon pinus yang disiapkan siang tadi. Berkumpul mengelilingi api unggun.  Merencanakan membuat jalur sepeda untuk downhill, cross country, camping ground dan outbound dengan tujuan untuk memberdayakan dan menjaga hutan lindung tersebut dari penjarahan.   Tentunya, tujuan utama adalah bagaimana meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dengan melibatkan berbagai instansi terkait.
Sayangnya acara api unggun harus terhenti, karena tiba-tiba hujan mulai turun. Cukup deras.  Kami pun masuk ke dalam tenda.  Hujan turun semakin deras. Mata dicoba untuk dipejamkan, tapi suara guyuran hujan dan derasnya aliran mata air Hulu Sungai Ciwalen melawan keinginan untuk tidur.  Hujan baru berhenti pukul 02.00 WIB.   Akhirnya kami ke luar tenda, menyalakan api unggun yang padam tertimpa derasnya air hujan. Tapi sampai pukul 03.30 dicoba membuat api unggun menyala tapi tetap tidak berhasil.  Rasa kantuk datang kembali, akhirnya masuk ke dalam tenda dan tertidur sampai pagi.


Monday, December 30, 2013

Exploring the 19thA Track @Gunung Karacak



22 Desember 2013
Hujan turun cukup deras di Minggu pagi ini, bahkan saat hujan berhenti pun. Mendung masih menggelayut di pelupuk cakrawal.  Jam 07.45 setengah malas2an si Spezy di gowes menuju Garut kota. Di turunan Sanding, tampak di depan 6 anggota ABG yang gowes tak berhelem.  Satu demi satu, mereka tersusul.  Memasuki alun-alun Garut, tampak 4 orang MTB-ers muda.  Lengkap dengan tas punggung mengayuh sepedanya perlahan.  Saat mendekati mereka, saya say hello.
"Mau pada gowes ke mana?"
"Ke Lingga Ratu Pak!", jawab mereka
"Weleh, ati-ati banyak pacet!", ujar saya mengingatkan.
"Oh kitu Pak? Hayu atuh gabung!", ajak mereka
"Nuhun, saya mah mau ke Talagabodas!", jawab saya menolak halus.  Padahal hari itu agendanya adalah ke Gunung Karacak.


Kali ketiga ke Gunung Karacak untuk membuat jalur baru. Jalur sepeda kesembilan belas. Sudah tiga kali, mencoba menembuskan jalur dari hutan di Gunung Karacak tapi belum berhasil.  Rencananya, jalur ini melingkar mengikuti punggungan Gunung Karacak tembus ke hutan Cirorek di Gunung  Satria Tasikmalaya.  Mudah-mudahan kali ketiga ini berhasil.

Tiba di rumah dinas Tebe Asep, yang dijadikan basecamp Kgc Garut Mountain bike.  Tampak sudah berkumpul raja ngicik Dedi Eceks, si Jangkung Tipis Haris Akung, dan mang Hendra. Tanpa basa-basi pisang ambon putih yang dibiarkan tergelatak tak disapa oleh mereka. Dua buah langsung masuk perut, 3 buah langsung masuk ransel saya :) untuk bekal di hutan!


Satu demi satu para pemirsa Kgc berdatangan.  Akhirnya bersepuluh meluncur menuju ke arah Sukadana.  Beriringan menikmat tanjakan Margawati sejauh 5 km. Tanjakan jalan itu tidak terlalu berat.  Sejuknya udara mendung pagi itu akibatkan keringat tak juga mau membasahi tubuh.  Di tengah perjalanan, Mang Haji Muksin Al Tarkal, alias Pak Camat Tarogong Kaler, Koh Iong  yang terus terang, terang terus dan Mang Ruhiyat dari Chevron akhirnya bergabung.








Lebih kurang 45 menit tiba di titik offroad, langsung mencicipi tanjakan leter U yang meliuk tajam. Pendek memang tapi cukup membuat mulut berulang-ulang meniup handlebar sepeda :p. Rombongan langsung memasuk padang rumput yang hijau di ketinggian 1000 mdpl. Melewati jembatan yang terbuat dari dua batang pohon pinus yang melintang di atas sungai kecil sempit 2 meteran yang cukup dalam. Satu demi satu, melintasi jembatan itu. Harus hati-hati karena jembatan itu sudah mulai lapuk dimakan usia. Menembus semak-semak dan "byar...!"  Sejauh mata memandang hijau ranau.  Seolah berada di hadapan kita Gunung Cikuray tampak anggun, tersenyum dan kabut yang menutup raut rimbun hutannya! Seandainya langit tak berkabut, mungkin pemandangan akan semakin cantik bila langit berwarna biru.



Sebelum perjalanan dilanjutkan menembus rimbunnya semak belukar di hutan. Kami pun mengadakan "ritual" agar tidak terserang pacet.  Semua peserta yang ikut, meraba dan mengusap tangan, kaki dan tengkuk masing-masing.  Bahkan, saya beserta beberapa orang lainnya melompat-lompat sambil terus mengusap tengkuk!

Saat mulai memasuk segarnya udara yang berbau pinus, hampir semua berkomentar.  Segar, sejuk, indah, Subhanallah dan lain-lain komentar yang terkesan dengan kondisi jalur dan udara yang dilewati.  Seringkali kami berpapasan dengan rombongan pencari kayu bakar, atau penyadap getah pinus. Sapaan akrab dan keramahan serta nasihat arif bijaksana meluncur dari mulut mereka penuh dengan senyuman.  Kearifan lokal yang nyaris tidak lagi ditemukan di kota besar.

Beberapa kali, kamipun berpapasan dengan monyet-monyet yang bergelantungan di atas pohon pinus. Sayangnya dibeberapa tempat ditemukan perangkap burung :(
Jalan makin curam, dan nyaris tidak bisa digowes.  Akhirnya aksi DH dilakukan secara berjamaah. Lebih kurang seperempat jam, memasuki Dhuhur istirahat di sebuah tempat yang cukup datar sekaligus makan siang.
Belum juga belum, nasi turun ke dalam usus.  Semua langsung mendorong kembali sepedanya masing-masing.  Saya terkaget-kaget, karena si Spezy lenyap!  Tanya sana-sini, mereka bilang tidak tahu.  Ternyata sudah digusur duluan oleh Koh Iong. Thank you!



Menemui percabangan jalan, kami kebingungan. Ke atas terus masih menanjak dan mendorong. Ke kanan, jalan mendatar dan mengecil dengan jurang lebar di sebelah kanan. Akhirnya, sepakat mengambil jalur ke kanan. Vegetasi makin rapat. Tapi sepeda masih digowes. Bahkan cenderung menurun.  Semua saling mengingatkan.
"Awas Jurang! Awas pokok Pohon! Awas Lubang!" atau sesekali berteriak sekehendak hati sambil ketawa-ketiwi.  Tapi, tiba-tiba jalan setapak hilang sama sekali.  Tertutup oleh semak belukar.  Namun di bawah, terdengar gonggongan anjing pemburu.  Menembus kerapatan semak belukar sepeda tetap di kayuh. Menuju arah datangnya suara gonggongan anjing  yang sayup-sayup terdengar.

Jalur masih tertutup rapat, namun sesekali mulati tampak jalan setapak. Akhirnya, bertemu dengan seorang penyadap getah pinus. Dia bertanya ramah,
"Mau pada kemana?"
"Ke Cirorek Pak, betul arahnya ke sini?", tanya kami
"Walah, salah jalan! Harusnya di persimpangan di atas tadi.  Terus lurus sampai ke puncak gunung. Kalo ke sini mah ke arah Cikadu!", jawab si Bapak Penyadap karet panjang lebar.

Kamipun, saling berpandangan mata sambil tersenyum.  Balik ke atas, dan mendorong sepeda lagi atau terus ke bawah menuju Cikadu? Mengingat waktu yang sudah terlalu sore.  Kami putuskan sementara mengambil jalur Cikadu. Karena jalur ini, sejauh yang tadi sudah dilewati sangat suitabel, cocok untuk sepeda. Sepeda terus dipacu, sesekali yang kurang nekad harus menuntun sepeda di jalur berupa tangga dari pohon pinus.

 Tapi, yang cukup berani akan tertawa puas sambil meledek yang kurang berani.  Beberapa kali melewati drop off alami.  Beberapa kali salah seorang rekan kami harus jungkir balik.  Bukan karena medannya yang berat, tapi karena seatpost hidroliknya tidak cukup rendah.  Sehingga stabilitas tubuh berkurang dengan sendirinya, tidak ada pijakan sama sekali saat menghadapi titik yang kritis.  Karena kesal, seatpost hidrolik, oleh rekan kami tersebut dicabut dan dilempar ke arah semak-semak! Kami pun terpingkal-pingkal melihat adegan akrobat yang tidak sengaja ditampilkannya!


Jalur terus menurun, melewat hutan pinus. Single track yang sangat sedap untuk dicoba! Sayangnya, Garmin milik Pak Camat dan Endomondo di hape saya mati.  Jadi kami tidak mengetahui berapa jarak tempuh dan waktu jalur yang dilalui.  Memasuk tepi hutan, jalan mulai ramah. Semak belukar perlahan berkurang. Jalan semakin bersih, namun tetap single track ramah, yang menembus ke tanah pertanian.  Karena rombongan tercecer.  Regrouping pun dilakukan sambil mengevaluasi jalur yang dilewati.  Jalan setapak makin menyempit dan berubah menjadi pematang sawah. Untunglah sawahnya kering, walaupun musim hujan.  Jadi kami cukup berani, menggowes di pematang sawah.  Kalaupun harus tercebut tidak akan mandi lumpur atau basah kuyup.

Pasca melewati pesawahan, jalan kembali masuk ke jalur pertanian.  Masih single track turunan. Semua mengebut, sambil sesekali tertawa terbahak-bahak saat memasuk turunan yang turun tajam dan menyudut 45 derajat.  Beberapa dari kami harus terjerumus dan jadi bahan tertawaan yang lainnya.

Saat memasuk perkampungan, kami kembali disambut gonggongan anjing peliharaan orang kampung.  Sesaat terhenti, membiarkan gonggongan berhenti sejenak.  Setelah cukup kondusif, gowes dilanjut.  Kembali memasuk pesawahan. Kayuhan harus kembali super konsentrasi.  Gowes di atas pematang sawah tidak mudah bagi kami.  Salah-salah malah tercebut ke sawah yang ternyata di bagian ini cukup berair dan berlumpur!

Jalur pematang sawah, berakhir di jalan beton  yang masih baru. Kembali langsung meluncur, mulus dan ngebut di atas beton.  Ternyata jalur beton tersebut tembus di Cikadu, atau terusan Jalur Cirorek yang berjarak lebih kurang 14 km dari Garut kota. Turunan semakin tajam. Tapi, karena sudah dibeton rapi dan rata. Di turunan ini, sepeda tidak lagi harus dituntun seperti beberapa waktu lalu saat kami melewati jalan ini yang masih belum dibeton dan dipenuhi lumut. Turunan tajam itu berakhir di sebuah lembah, dengan tanjakan curam sejauh lebih kurang 50 meter saja di dalam.  Beberapa dari kami ada yang sanggup full gowes, sebagian TTB karena fisik yang sudah habis.

Berhenti sejenak di warung untuk rehat dan minum kopi dan sholat.  Perjalanan di lanjut, dengan jalan masih beton yang sebagian sudah mulai dimakan oleh gerusan air.  Turunan curam dan menikung tajam berakhir di sebuah lembah tempat mushola kecil yang pancuran mata airnya digunakan oleh penduduk kampung untuk mandi. Di depan lembah ini, tanjakan curam sejauh lebih kurang 50 meter kembali menyambut akhir dari petualangan hari itu.  Tanjakan ini berujung di hotmix Jalan Raya Cilawu Tasikmalaya.  Lebih kurang 7 km dari Garut kota.

Walaupun tidak sesuai harapan, bisa menembuskan jalan ke jalur Cirorek, Gunung Satria, Tasikmalaya.  Namun, jalur sepeda yang "ditemukan" tidak sengaja secara umum sangat rekomen untuk teman-teman dari luar Garut yang mau gowes menjajal jiwa petualangnya :P
Kami namakan jalur sepeda ini Jalur 19A, dengan harapan dari hutan Gunung Karacak tembus ke Cirorek adalah Jalur 19B dan tembus ke Parentas (Cigalontang, Singaparna) menjadi Jalur 19C.  Karena gerbang awal jalurnya sama dari Gunung Karacak yang merupakan jalur ke-19 yang berhasil dijelajahi.

Berani mencoba? Let us do it!


Catatan:
- Panjang jalur 19A belum bisa ditentukan dengan pasti, karena GPS mati. Namun diperkirakan sekitar 27 km
- Lama perjalanan sekitar 3-4 jam plus istirahat dan tersesat :p
- Kontur turunan single track dengan vegetasi rapat hutan hampir 60% lengkap dengan turunan ekstrim berupa tangga pohon pinus namun layak dicumbu dengan mesra :), single track tanah pertanian/pesawahan plus pematang 20% dan selebihnya berupa turunan dan tanjakan.

Sunday, December 1, 2013

Touring Garut-Pameungpeuk-Rancabuaya

Musim libur panjang hampir tiba.  Saatnya merencanakan liburan ke tempat yang bisa membuat kita kembali segar.  Untuk para goweser, tidak ada salahnya untuk mencoba touring Garut-Pameungpeuk dan melakukan camping atau menginap beberapa malam di Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo dan Pantai Rancabuaya di Kecamatan Pameungpeuk, Garut Selatan.


Pantai Sayang Heulang dan Pantai Santolo berjarak lebih kurang 105 km dari Garut kota. Pantainya cukup indah. Cukup landai dengan pasir putih dan pandan liar di atasnya. Apalagi bila kita menyaksikan sunset di pantai Santolo. Pantai Sayang Heulang dan Pantai Santolo sangat berdekatan, hanya dipisahkan  oleh sebuah sungai kecil yang dapat diseberangi dengan menggunakan rakit bambu/getek, sekali menyeberang sepeda plus yang empunya hanya bayar Rp.3000,-/orang.  Atau kalau mau, silakan melingkar dan melambung sejauh 9 km. Tinggal pilih :p


Bila waktu cukup panjang, touring bisa dilanjutkan ke Pantai Rancabuaya yang berjarak 33 km dari Pameungpeuk. Pantainya hampir sama dengan pantai Sayang Heulang dan Santolo hanya lebih luas. http://riparhand.blogspot.com/2013/05/pantai-rancabuaya-kec-caringin-garut.html


Jalan yang menghubungkan kota Garut sampai Pameungpeuk relatif baik.  Hotmix mulus.  Dari Garut kota sampai Batu Tumpang sejauh 37 km Cikajang. Relatif nanjak, dengan tanjakan ringan sampai sedang.  Kendaraan umum dan kendaraan pribadi tidak terlalu ramai jadi relatif aman untuk pesepeda.
Di Batu Tumpang, bisa rehat sambil menikmat lembah dan hamparan kebun teh.  Tidak ada salahnya, sambil istirahat mencicipi hidangan ayam goreng dan sambal khas Batu Tumpang dengan harga bersahabat.  Udara di Batu Tumpang cukup dingin, dan cenderung berawan/hujan/berkabut bila melewati tengah hari.


Dari Batu Tumpang sampai ke Pameungpeuk yang berjarak 45 km bisa dibilang sepi, karena hanya satu dua saja yang berpapasan. Jalan turunan berkelak-kelok yang hanya diselingi tanjakan ringan di Cihideung (Gunung Gelap) siap dicumbu.  Harap hati-hati, karena kadang-kadang ada kendaraan yang nyelonong dari arah Pameungpeuk yang mengambil jalan di kelokan. Jalan akan terus menurun sampai di pantai.


Penginapan
Penginapan sederhana, wisma atau hotel cukup tersedia.  Bahkan ada beberapa warung di pinggir pantai yang mempersilakan pelancong untuk tidur di ruangan depan warungnya yang memang dipersiapkan untuk penginapan dengan harga kearifan lokal :) Warung juga menerima pesanan, makan malam dan sarapan dengan menu ikan laut segar dengan harga yang relatif murah. Sebagai gambaran, waktu tahun lalu kita ber-15 orang numpang tidur, makan malam dengan ikan segar, plus lalab sambal,dan sarapan pagi. Hanya diminta 300 ribu rupiah saja.Kurang tahu, tahun ini karena dolarnya pan udah 12 ribu!
Pokoknya, penduduknya belum sekomersil di pantai lainnya.  Harga2 juga masih relatif standar.

Untuk tarip penginapan, berupa rumah kecil sederhana tarifnya antara Rp.150 ribu s.d. Rp.350 ribu. Di pantai Sayang Heulang banyak penginapan seperti ini. Murah meriah. Tapi, menghadapi liburan panjang dan tahun baruan [enginapan tersebut sudah penuh,  jadi semestinya kita sudah memesan/booking seminggu atau dua minggu sebelum hari H kedatangan. Disarankan untuk tidak menginap di tempat yang jaraknya berdekatan, karena malam tahun baruan biasanya akan penuh dengan aneka musik dangdut dan bunyi petasan yang akan mengganggu waktu istirahat kita setelah gowes seharian.



Friday, January 25, 2013

Terjebak Keangkeran Single Track Sadahurip

Kamis, 24 Januari 2013
Gowes bareng Kang Yogi cs. Ke Talagabodas akhirnya terlaksana juga. Dari Bandung 6 orang dari Kgc Garut Mtb 4 orang. Total jadi 10 orang.
Tiba di puncak Talagabodas langsung foto2 sepuas-puasnya. Berburu view cantik yang tidak ada habis-habisnya. Hampir 1 jam lebih berfoto ria sambil menunggu nasi liwet Kang Ocot matang.

Pasca maksi dengan menu sederhana goreng jengki, ikan asin dan sambal terasi. Perjalanan langsung dihadapkan pada golden trek di tengah hutan talaga bodas yang masih perawan. Lebih kurang 4 kilometer menjajal keperawanan sigle track Talagabodas.
Walaupun turunan, tapi jersey basah oleh keringat. "Mungkin, karena adrenalin yang muncrat Kang!", ujar Kang Yogi saat saya melontarkan keanehan  tubuh berkeringat padahal trek turun terus.

Single track selanjutnya adalah golden track hutan pinus yang diselingi palawija. Cukup renyah dan garing. Sampai akhirnya tiba di track gunung Sadahurip, yang terkenal angker, karena seringnya memakan korban terjatuh atau terjugkal.

Sigle track yang mayoritas jalur sempit diapit tebing dan jurang dangkal atau sawah. Kudu dicumbu dengan konsentrasi yang tinggi. Meleng sedikit, dipastikan akan terjungkal masuk ke jurang dangkal berupa kebun jagung dan padi.
Agar tidak terlalu tegang seringkali diperlukan intermezo berupa ledekan atau guyonan yang bisa membuat saraf tidak terlalu tegang.

Di sebuah tikungan yang berupa jalur silet, sebuah pematang di bibir tebing Gunung Sadahurip. Suasananya sangat tegang.
Meskipun begitu sesekali terdengar spontan ledakan tawa yang membahana saat ada satu dua orang yan terjungkal. Bahkan, tampak kaki terangkat ke atas, dengan posisi kepala dan tubuh tertindih sepeda!

Sebagai seorang yang mendapat giliran sebagai road captain. Beberapa kali saya berteriak mengingatkan agar hati2, banyak jurang dan jalur yang cukup riskan terjatuh.

Saat rombongan, tertinggal jauh. Saya, beristirahat. Timbul ide jahil. Suasana sore itu sangat mencekam. Di tengah gunung, mendung dan sangat sunyi serta suara serangga malam yang mulai menjerit.

Di sebuah jalur silet di bibir tebing, sebelah kiri perkebunan palawija sedalam setengah meter. Sepeda disembunyikan di semak-semak. Tubuh, saya benamkan di bibir tebing. Menanti, menahan nafas. Harap-harap cemas menanti sang korban. Cukup lama menanti. Sampai pada saatnya...

Tampak Kang Dadan Difa, pelan-pelan mendorong sepedanya. Matanya tertunduk ke arah jalan yang sangat sempit. Tampak dia berkonsentrasi penuh. Dia, tidak menyadari sama sekali apa yang ada di hadapannya.

Tepat, saat setengah langkah lagi tiba di tempat saya bersembunyi. Saya, secepat kilat muncul dari balik semak-semak yang menempel pada tebing sambil berteriak sekeras mungkin dengan tangan siap menerkam: "WHAAAAAAA....!!!"
Seperti dihipnotis, Kang Dadan, Spontan berteriak:"WHUUUAAAAAAAAAAA....!!!", suara kaget Kang Dadan lebih keras, lebih dahsyat, tanda kaget yang tidak terperikan!
Matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan tubuhnya kejang dalam sesaat.

Sampai akhirnya, dia mengumpat panjang lebar, sambil ngakak. Mentertawakan dirinya sendiri. Saya sampai ngakak terpingkal-pingkal sambil terbugkuk-bugkuk menahan ketawa....

Thursday, December 13, 2012

Trek Karaha-Talagabodas ala Aura Kasih



Gunung Talagabodas mempunyai ketinggian 2201 meter dari permukaan laut. Ketinggian 2,201 meter (7,221 ft). Gunung yang beberapa hari ini kembali ramai dikunjungi wisatawan, terletak di 13 km dari Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut Jawa Barat. Tepatnya pada kordinat 7°12′29″S 108°04′12″E /7.208°LS 108.07°BT.

Secara geologis gunung ini termasuk jenis stratovolcano yaitu gunung berapi yang tinggi dengan lava dan abu vulkanik yang mengeras. Di pucaknya terdapat danau yang airnya berwarna putih, mungkin dari warna yang muncul inilah disebut Gunung Talagabodas (Bahasa Sunda, talagabodas=danau putih). Bagi yang pernah ke Kawah Putih di Ciwidey, panorama di Talagabodas akan merasakan de ja vu.

Dua kilo meter dari danau Talagabodas, terdapat pemandian air panas seperti di kawah Darajat, Guntur atau Kamojang. Hanya saja, pemandiannya masih dikelola secara tradisional. Pemandian ini, sangat unik. Bahkan, dianggap keramat oleh sebagian orang.

Tidak aneh, pohon-pohon di sekitar pancuran air panas yang berjumlah 7. Banyak sekali (maaf), pakaian dalam bekas pengunjung yang mandi. Alasannya, mulai dari membuang sial, enteng jodoh, ingin kaya atau menyembuhkan penyakit.

Hampir 2 bulan sejak Nopember lalu, Kawah Talagabodas mulai ramai kembali dikunjungi oleh wisatawan. Memang masih didominasi wisatawan lokal, yang berkunjung menggunakan truk besar, truk pick up, minibus, atau motor.

Kembali menggeliatnya keramaian di Talagabodas terjadi, karena akses jalan yang dulu pasca reformasi hancur total. Telah diperbaiki, cukup mulus beraspal. Walaupun belum di hotmix. Namun, melihat kondisi limpasan air di sepanjang badan jalan di beberapa titik. Diprediksi, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dipastikan jalan kembali hancur total.

Mungpung, masih mulus. Kgc-ers Garut untuk kali ketiga mengayuh sepeda dari Garut kota. Jarak Garut kota- Wanaraja bisa ditempuh 20-30 menit. Karena sangat datar, bahkan cenderung turunan. Dari alun-alun Wanaraja, tepatnya di depan mesjid Jami Wanaraja. Belok kanan. Ke jalan Talagabodas. Dari kota kecamatan Wanaraja ke puncak Talagabodas kurang pebih 13 km.

Perlahan tapi pasti, kita disuguhi tanjakan demi tanjakan yang sangat menggoda selera. Pada awalnya, tanjakan enteng di kilometer 3. Selanjutnya, 3 kilometer kita menghadapi tanjakan sedang. Dibutuhkan kesabaran dan kemampuan fisik yang cukup untuk mencumbu tanjakan ini.


Kemudian, kesabaran dan ketabahan kembali diuji dengan tanjakan "superdodol" sejauh 1,3 km. Perjalanan sengaja mengambil shortcut, melewati perkebunan palawija. Memang jaraknya lebih pendek, tetapi tanjakannya cukup edun.  Bisa digowes, tapi tidak lama. Kembali harus TTB. Cuaca dan obral matahari yang lagi promo, menjadikan tengkuk dan wajah seperti dibakar.

Untuk menghilangkan penat. Sesekali, bernarsis ria di tengah bukit dengan pemandangan kota garut, pesawahan, serta palawija yang menghijau. Tentunya dengan senyuman di tengah kelelahan mendorong sepeda.

Sepeda kembali bisa dikayuh setelah tiba di pertemuan jalan shortcut via Pasir Anjing dengan jalan aspal. Jarak yang terekam di endomondo, menunjukan angka 1,8 saat tiba di basecamp bekas proyek Karaha. Jarak tersebut ditempuh selama 1 jam lebih 10 menit. Sambil, kembali rehat, maksi dan sholat dhuhur.

Kita dibuat terkesima, dan tersentil mata hati. Saat melihat 7 anak perempuan sedang membersihkan mesjid. Padahal jarak mesjid ke rumah mereka sekitar 1,6 km! Silakan klik:

http://gowesgarut.blogspot.com/2012/12/sentilan-keihlasan-dari-seorang-anak.html? zx=7d5101d9bba49310

Jarak dari basecamp, ke puncak Talagabodas tersisa lebih kurang 4 km lagi. Jalan yang tersisa 4 km, tidak akan menemukan tanjakan berat. Sehingga bisa ditempuh sekitar 1-2 jam. Terserah kesanggupan fisik.

Karena hari minggu, pengunjung yang berduyun-duyun menggunakan berbagai kendaraan, terutama motor. Menjadikan para pencinta sepeda harus sering mengalah. Menepi, bahkan turun. Jalan yang sempit, seringkali terlalu riskan terserempet truk atau minibus.

Apatah motor yang ugal-ugalan, mengebut seperti dikendarai setan. Membuat kami, mgambil keputusan putar balik. Disimpulkan tidak akan nyaman di puncak atau di kawah. Dipastikan penuh sesak, membuat kita tidak nyaman. Akhirnya di tengah perjalanan, langsung balik kanan. Membelok ke arah Karaha.


Walaupun tidak sampai ke puncak. Subhanalloh, walhamdulillah...kita disuguhi sajian single trek yang sangat lezat. Turunan, kontur tanah. Di tengah hutan pinus yang sekitarnya ditanami tomat dan cabai. Hilang sudah rasa lelah. Terbayar oleh kegurihan dari sigle trek yang sangat nikmat.
Tembus di sebuah kampung, sejauh mata memandang.

Cantik! Itulah kata yang terlontar. Kami semua berkhayal, seandainya mempunyai rumah di puncak bukit ini. Hidup akan terasa aman, nyaman, senang. "Tiis ceuli herang mata". Bahkan, kami bercanda. Seandainya Aceng menyimpan isteri muda ABG yang dinikahi siri. Dipastikan tidak akan tercium oleh media massa. Setelah minum kopi di sebuah warung kecil di pinggir jalan makadam. Kami kudu mendorong sepeda lebih kurang 60 meter.


Setelah itu? Kembali suguhan alam yang hijau ranau, dengan single trek yang maknyos. Membuat lupa sama anak mertua. Sesekali diselingi tanjakan ringan 2-3 meter, tanda pergantian ketinggian. Tapi, tetap masih bisa digowes. Melewati parit di tengah bukit dengan jembatan bambu kecil. Membuat trek sangat memacu adrenalin, dengan turunan dan tanjakan ringan yang renyah.

Dan .... Allahu Akbar! Subhanallah! Takbir dan tasbih terucap spontan. Betapa tidak. Hamparan alam yang menghijau di bawah bukit sangat indah. Tampak, jalan yang berliku-liku. Meliuk-liuk di sekitar punggungan gunung nun jauh di bawah sana. Sawah dan perkebunan palawija serta hamparan karpet alam hutan, langsung menyejukan hati. Gunung Sadahurip yang beberapa waktu lalu dihebohkan sebagai piramida. Tampak sangat anggun. Punggungnya dibalut hijau tumbuhan palawija. Guratan, garis sengkedan tanah seperti lukisan asesoris. Mempercantik keanggunannya.



Biru langit dan ulasan gumpalan awan putih di atas sana. Sepertinya bisa kita raih, seperti iita meraih gumpalan kapas putih. Tidak puas-puasnya, dan tidak akan habis-habisnya. Melakukan aksi narsis di puncak bukit di pertengahan Talagabodas-Karaha ini. "Subhanallah, ternyata ada ya pemandangan sedahsyat ini!!!" Ujar kang Yudhi dan kang Richy yang baru pertama menginjakan kaki di sini.

Setelah cukup puas dengan pemandangan yan tiada duanya di dunia. (Meureun...da sepertinya kita mah. Jarang gowes keluar dari Garut gkgkgk...).  Mencumbu turunan, kembali dilanjut. Sepeda kesayangan betul-betul dimanjakan di trek ini. Sesekali kita mendapat hiburan, saat ada yang terpentok pohon pisang. Tertawa geli, saat melihat yang tertatih-tatih, terpaksa menuntun sepeda. Karena pematang yang seupil, menempel pada tebing, dengan jurang dangkal di sebelah kiri. Bukan, sekali dua kali, yang menjadi korban di sini.



Trek, turun, turun, turun dan terus turunan. Melewati hutan bambu, kolam, kebun palawija, serta bibir jurang dengan sungai deras di bawahnya. Sesekali, berteriak mengingatkan bila ada jalan yang membahayakan. Sehabis turunan yang jalannya teramat tipis. Turunan terus mencumbu si spezy dan kawan-kawan.

Tiba di sebuah puncak bukit kecil. Kembali, kita terhenyak dengan pemandangan yang tidak kalah eksotik dengan yang di atas tadi. Sebuah pohon meranggas di puncak bukit. Menambah kecantikan lukisan alami di tengah pegunungan. Kami namakan Pohon Kejujuran 2, sebagai pengganti Pohon Kejujuran 1 di Cisaruni yang rantingnya telah lenyap.

Kembali berfoto ria, dengan jempol dan senyum lebar tanda orgasme bersepeda yang terpuaskan selama perjalanan. MANTAP!

Pascabukit yang ciamik, kita masih disuguhi turunan tajam. Yang ragu-ragu atau kurang mahir kontrol handlebar sebaiknya turun saja. Walaupun sebenarnya, sangat disayangkan. Karena tidak bisa menikmati mucratnya adrenalin di trek super turunan di tengah hutan bambu. Dahsyat..thank you Allah. Yang telah memberikan trek baru yang begitu indah dan gurih di Karaha-Talagabodas ini.

Penasaran? Buktikan!

Sunday, December 9, 2012

Sentilan Keihlasan dari Seorang Anak Perempuan

Di sebuah mesjid terpencil yang berjarak 4 km dari puncak Gunung Talagabodas. 7 anak perempuan ikhlas, sedang membersihkan dan mengepel mesjid serta membersihkan karpetnya. Satu diantaranya, pemimpin kelompok sepertinya. Tampak lain, lebih dewasa. Wajahnya putih, kulitnya kuning langsat. Sekalipun hanya berbalut pakaian lusuh dan kerudung belel. Tapi tak mampu menyembunyikan wajah aslinya. Cantik.



Saya: "Neng, disuruh siapa membereihkan mesjid?"
Anak Perempuan :" Gak ada yang menyuruh. Lillahita'ala aja.
Saya: "Kamu gak sekolah?"

Seorang anak laki2, teman anak perempuan itu. Yang masih usia 5 tahunan menjawab sambil melap .... (maaf ingus) yang meler dengan punggung tangannya : "Dia mah udah gak sekolah. Tapi udah punya pacar..."

Semua teman-temannya tertawa. Ramai berkomentar.

Anak Perempuan: "Bukannya, gak mau sekolah Pak. Tapi kan gak ada SMA di sini mah. Lagi pula gak ada biaya". Ujar anak perempuan itu, dengan nada prihatin.

Duh, hati seperti teriris. Getir. Kalo rumah kamu dekat, kamu pasti bisa sekolah ke SMA ....

Tak rela rasanya, melihat anak sebaik dan secantik itu. Hanya bisa lulus sampai SMP.

Keihlasan dan kebaikan hatinya tampak. Saat, akan diberikan uang jajan sebagai uang lelah memimpin teman-temannya membersihkan mesjid.

"Gak usah, Pak...ini sudah kewajiban dan tugas kami menjaga kebersihan Rumah Allah!" Ujarnya penuh keyakinan.

Sentilan dan kearifan lokal, yang mungkin tidak akan ditemukan pada anak2 di kota.

Monday, November 19, 2012

Godaan di Trek Cisaruni (Unedited @Bike2Boseh PR))


Cisaruni adalah paling menantang dan paling lengkap kontur dan sifat treknya untuk bersepeda gunung.  Tanjakan, turunan, makadam, single trek tanah yang datar memanjang di sepanjang trek Cisaruni. Perbandingannya adalah 30% tanjakan, 30% turunan dan 40% datar (single trek). Jarak yang ditempuh lebih kurang 23 km dalam waktu 6-7 jam. Letaknya di antara Gunung Cikuray dan Papandayan. Ketinggian tempat antara 1230-1640 m dpl. Suhu rata-rata antara 18 – 24 derajajat Celcius. 


Trek sepeda Cisaruni, pertama kali dieksplorasi oleh Gasheba, para petualang sepeda asal Bayongbong yang diketuai oleh Kang Engkus Gasheba. “Waktos tahun 2007, Gasheba salami tilu sasih. Nembe tiasa nembuskeun trek Cisaruni. Lebet ti Sumbadra totos dugi ka Cisurupan” kata Kang Engkus, yang akrab dipanggil Mang Engkus oleh anak buahnya.  Tiga bulan, adalah bukan waktu waktu yang pendek.  Jalur yang berjarak lebih kurang 40 km, menyusuri tebing dan lereng di gunung Papandayan sebelah selatan denga kondisi sepeda apa adanya. 
Uraian singkat trek Cisaruni tersebut sepertinya, membuat penasaran KGB Bandung mengajak anggotanya mencicipi sajian khas trek Cisaruni. Rencana awal, gowes silaturahmi, dirubah menjadi seperti “gobar” alias gowes bareng ke Cisaruni.  Diantaranya; Mtb Aquila Cianjur (9 orang), PGE Cyclist (9 orang), KGB Bandung, Jakarta, Bekasi (25 orang), serta tuan rumah Gasheba Bayongbong (3 orang) dan KGC Garut MTB (8 orang) sehingga total peserta menjadi 46 orang!

Mendung Kelabu di Awal Kayuhan
Sabtu, 3 Nopember 2012 rombongan menuju Cikandang.  Saat itu sang surya baru menapaki sepenggalan lengan. Cahayanya cukup menghangatkan semangat pesepeda, yang turun dari truk di area Curug Orok.  Disambut syahdu alam yang membiru serta kicauan burung di pagi hari. Ada isyarat tersirat. Terasa tak terlihat, ada bayang kelam dalam keheningan. Angin dingin, bertiup menyusup pada kalbu. Entahlah apa yang akan terjadi, hanya Tuhan yang tahu.
Manusia berencana Tuhan menentukan.  Saat rombongan pertama sudah tiba di pintu gerbang perkebunan Papandayan, tiba-tiba radio komunikasi memanggil untuk berhenti sementara.  Ada kecelakaan! Seorang teman asal MTB Aquilla Cianjur terjatuh dan terjerembab mencium aspal entah kenapa.  Hidungnya robek, dengan memar di sekujur tubuh.  Seperti ditohok dari belakang, semua membisu. Terdiam.  Baru ratusan meter, belum lima menit.  Ternyata mendung telah menutupi awal dari perjalanan.  Untunglah evakuasi dan pertolongan pertama, segera dilakukan dengan bantuan dari Pertamina Geothermal Energy (PGE) Cyclist yang menyediakan mobil evakuasi. Teman tersebut dievakuasi, langsung dibawa ke RS Cikajang.


Don’t be Afraid to Shift!
Trek Cisaruni di awali dengan tanjakan makadam khas perkebunan teh sejauh lebih kurang 1500 meter. Tanjakan ini cukup curam, dan cukup sulit ditaklukan.  Makadam tajam, cukup menambah beban, menahan laju sepeda. Ketabahan, kesabaran, kemampuaan shifting serta ketahanan fisik sangat dituntut di tanjakan ini.  Jangan malu untuk memindahkan gir depan ke gir yang paling kecil, serta menggunakan gir paling besar di roda belakang.  Selanjutnya adalah kemampuan pengendalian mental untuk menaklukan diri sendiri.  
Pesona kecantikan pemandangan di areal perkebunan Papandayan, tak menghibur.  Pasangan kang Hary Aviadi- teh idew Dewi Najmi Aviadi, goweser yang saling setia setiap saat. Sepertinya tak sanggup untuk saling menyapa, karena beratnya tanjakan.  Masing-masing asyik masyuk sendiri. Tadabur alam, bertafakur, berdzikir menghitung detak detik, nadi yang semakin memburu. Kesegaran dan luasnya udara gunung Papandayan, sepertinya tak bermakna.  Nafas tetap tersengal-sengal, berlomba dengan waktu menghirup oksigen, yang sepertinya berkurang.

Di tanjakan ini, terbukti istilah yang penting bukan sepedanya, tapi sepedaannya. Kecanggihan groupset XTR 10 speed dan ringannya frame carbon atau alloy tak mampu menundukan tanjakan ini. Sebaliknya kekuatan X-Tu-uR (lutut) lebih mendominasi.  Para Gasheba-ers seperti Kang Engkus, Kang Dani, dan Kang Tendi; Kang Asep Tebe yang sepedanya masih hi-ten steel, dengan groupset tak bermerek 7 speed.  Ternyata di tanjakan ini, anteng-anteng wae bisa gowes sambil senyam-senyum dan bersiul ria.
Akhir tanjakan pertama adalah areal tower BTS. Sebuah dataran, dengan pemandangan yang elok. Bila beruntung, putihnya busa ombak laut di Pantai Rancabuaya dapat terlihat cukup jelas. Sambil rehat dan menunggu regrouping.  Seorang teman yang sepertinya ahli hisab. Langsung berteriak, “Stop smoking!” Dikira dia berkampanye untuk berhenti merokok. Ternyata, dia berhenti, lalu merokok!

No Pain No Gain
Tak ada kebahagiaan tanpa perjuangan. Setelah dihajar tanjakan makadam jahanam. Para goweser mulai menikmati turunan. Walaupun masih makadam, tapi cukup menghibur.  Bonus turunan dilanjutkan dengan bonus single trek khas perkebunan teh.  Tubuh tidak terasa lelah atau berkeringat karena udara yang sangat sejuk. Mungkin karena indahnya  pemandangan khas Periangan jadi penghibur diantara kayuhan.

Tuhan tersenyum pada saat menciptakan bumi Parahyangan.  Sejauh mata memandang, langit biru cerah berlukiskan arakan awan putih. Geulis camperenik. Bukit-bukit dialasi tebalnya hijau karpet pepohonan teh. Pun jauh di bawah sana, jalan yang berkelak kelok diselingi putihnya aliran sungai kecil.  Tak salah kami menyebut trek ini sebagai trek Desi Ratnasari karena keindahan dan kecantikan pemandangannya.
Dari titik ini, kita langsung dimanjakan oleh turunan single trek yang dialasi rumput kerbau (Paspalum conjugatum) dan Digitaria longiflora. Tebalnya rumput akibatkan mengayuh sepeda seperti di atas karpet yang empuk. Terasa berat. Berkelak-kelok di tepi tebing dangkal diantara pepohonan teh. 
Trek kemudian berubah kembali menjadi makadam jinak.  Renyah untuk digowes, diselingi tanah yang memotong di tengah perkebunan yang berakhir di kompleks Perkebunan Cisaruni.  Rehat sejenak di mesjid perkebunan. Melepaskan penat, makan siang serta sholat dhuhur untuk yang beragama Islam.  Sepertinya, tidak lucu; kalau kita celaka di akherat hanya karena bersepeda kan?
Disapa Kabut, Dicumbu Rayu Bukit Neng Desi
Setelah rehat, gowes dilanjut yang langsung melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Renyahnya Turunan) terhadap “isteri kedua” alias sepeda kita.  Dihajar turunan makadam lepas serta tanjakan makadam yang diawali tikungan centil. Meliuk, menekuk tajam lebih kurang 45 derajat, kurang-kurangnya ahli dalam shifting dan controlling.  Dipastikan akan turun dari sepeda, langsung DH (Didorong Heula) sampai single trek berikutnya.
Cumbu rayu dari turunan single trek tanah di Cisaruni mampu membangkitkan selera memacu sepeda. Di akhir turunan sebuah lembah. Kita diharuskan untuk khatam di tanjakan sempit, yang walaupun pendek tapi cukup curam.  Selepas tanjakan, kembali suguhan pemandangan alam yang indah menggoda.  “Ciyuuus gitu, miapah!”, teriak, Mas Soega dari Jakarta. Kang Yogi, Kang Opi dan Kang Andre yang berperan ganda menjadi pemotret keliling  tak henti saling berlomba mengabadikan peserta gowes dalam indahnya bukit Neng Desi. Semua diam, dan menarik nafas dalam seperti tersihir saat sejuta kabut turun perlahan.  “Sangat Eksotis!” ujar kang Royan dari MTB Aquilla Cianjur.
Turunan single trek tanah di tengah perkebunan palawija dan sayuran kembali menyambut. Diselingi tanjakan pendek, yang lagi-lagi hanya sedikit goweser yang bisa menundukan diri sendiri di sini.  Mayoritas adalah jadi kelompok “matador” alias manggih tanjakan dorong.  Posisi  kaki ala banteng ketaton, hidung mendengus, mulut mangap, mata melotot, kedua tangan kukuh memegang handlebar.  Siap menyeruduk! 

Buah Simalakama Menu Penutup
Sebagai menu penutup di trek Cisaruni, kita disajikan desert berupa single trek datar yang khas dodol Garut.  Single trek tanah yang teduh.  Posisinya di sebelah kiri kita adalah aliran irigasi, sedangkan di sebelah kanan adalah jurang dengan kedalaman 1-3 meter.  Melewati beberapa kampung dan beberapa rumah panggung kecil yang terpencil.

Menamatkan trek Cisaruni sebagai penutup ini, diperlukan ketahanan kayuhan (cadence) pedal yang tetap. Posisi 2-3, adalah yang paling baik. Depan gir 2, belakang gir 3. Terlalu cepat tidak, terlalu pelan juga jangan. Mata dan pikiran harus awas lurus ke arah jalan dengan konsentrasi penuh. Sebab bila tidak, akan seperti makan buah si malakama, jatuh ke kiri berarti basah kuyup, jatuh ke sebelah kanan berarti terperosok ke dalam jurang.
Pada waktu melewati trek penutup ini, bisa dipastikan kita akan merasakan; ternyata jauh lebih belajar khusu gowes daripada waktu sholat.  Bahkan,jangankan berpaling atau menoleh pada saat nama kita dipanggil.  Untuk menjawab panggilan pun kita ogah.  Karena terlalu riskan kecebur diantara dua pilihan.  Sesekali, jalur penutup ini masuk ke hutan bambu yang lebat plus tanjakan yang tidak disangka-sangka.  Hampir 3 jam penuh, dipastikan gowes konvoy. Babaduyan, menyusuri trek penutup ini. 

Deny Suwarja
KGC Garut Mountain Bike